Tantangan Pengenaan Cukai
SEBAGAI kebijakan yang masih dalam tataran usulan, pengenaan cukai atas makanan tinggi GGL tentu tidak luput dari tantangan. Adapun tantangan itu di antaranya perihal perumusan pengertian dan kategori makanan tinggi GGL yang dikenakan cukai.
Pembatasan pengertian dan kategori makanan penting dilakukan mengingat makanan tinggi GGL juga diproduksi pelaku UMKM dengan pangsa pasar kecil. Selain itu, Indonesia memiliki banyak makanan serta jajanan tradisional yang tinggi GGL. Penetapan batasan objek juga diperlukan agar kebijakan ini tidak mengesampingkan kemampuan ekonomi masyarakat.
Hal ini menjadi ‘pekerjaan rumah’ yang tidak mudah. Sebab, pengecualian yang tidak tepat sasaran justru bisa memicu pergeseran pola konsumsi dari makanan yang kena cukai ke makanan lain yang tidak kena cukai. Padahal, makanan tersebut bisa jadi mempunyai dampak eksternalitas yang sama atau bahkan lebih buruk.
Selain itu, pengenaan cukai tidak menutup kemungkinan akan berdampak pada produktivitas industri. Hal ini berpotensi menimbulkan efek domino pada pengurangan tenaga kerja hingga penurunan penerimaan pajak, terutama PPN, PPh Pasal 21, dan PPh badan.
Artinya, ‘biaya’ atas penerapan cukai menjadi tantangan lain yang patut dipertimbangkan secara matang. Oleh karena itu, cukai atas makanan tinggi GGL perlu diiringi dengan paket kebijakan lain.
Selain skema earmarking, pengenaan cukai perlu dibarengi dengan kebijakan lain, seperti pemberian insentif dan subsidi. Misal, insentif dan subsidi atas makanan yang lebih sehat serta produk substitusi lain yang lebih sehat, seperti buah dan sayur.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang sekaligus menjadi pemenang lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)
- Anak maunya
apa sering banget kita turutin. Prinsipnya yang sering dipegang, 'yang penting anak mau makan'. Tapi kita sering nggak ngecek bahwa makanan yang dimakan anak itu tinggi gula, garam, dan lemak.
"Makanan yang masuk ke tubuh anak harus pas dengan kondisi anak. Bukannya bikin stunting atau obesitas, filosofi gizi yang harmoni dan seimbang dengan kebutuhannya," ungkap Prof dr Dodik Briawan MCN.
Menurut pengajar dan peneliti Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB ini, beberapa perilaku yang tidak sehat tapi masih sering dilakukan misalnya memberi makan tinggi kalori (karbohidrat dan lemak), tinggi natrium, terlalu manis dan rendah serat (kurangnya asupan buah dan sayur) ke anak.
Prof Dodik pun memberi gambaran hubungan
yang tinggi gula, garam, dan lemak dengan pertumbuhan dan kesehatan anak. Yuk disimak bersama, Bun.
Pertumbuhan satu unit porsi konsumsi minuman manis dalam sehari berhubungan dengan kenaikan Indeks Massa Tubuh (IMT) 0,06 unit dalam kurun waktu satu tahun pada anak-anak dan remaja.
"7 dari 8 studi melaporkan kasus dental karies berbanding lurus dengan konsumsi gula tinggi," ungkap Prof Dodik dalam acara Peringatan Hari Gizi Nasional 2018, Stunting dan Gizi Buruk Tantangan Mewujudkan Indonesia Emas 2045 di Kantor Kemendikbud, Jl Jend Sudirman, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Selain itu terdapat hubungan positif antara konsumsi minuman mengandung gula di antara anak-anak usia 12 tahun ke bawah, dan hasilnya tepat berada di tengah. "Minuman manis merupakan faktor penyumbang pada berat badan anak," tutur Prof Dodik.
Sembilan makanan sumber gula terdiri yang sering diasup anak usia 5 hingga 18 tahun seperti, jelly (20 - 23 gram), sirup (16 - 22 gram), cokelat (12 - 12,2 gram), madu (11,4 gram), selai (10 - 12 gram), permen (8 - 9 gram), gula pasir (8,4 - 8,7 gram), gula merah (7 - 8 gram), dan pemanis buatan (2,7 - 2,9 gram).
"Konsumsi natrium tinggi pada anak berhubungan dengan tekanan darah yang tinggi," tutur Prof Dodik.
Sebuah studi tahun 2012 tentang anak-anak dan remaja di AS menemukan bahwa konsumsi natrium yang lebih tinggi dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah. Selain itu juga terdapat hubungan langsung yang signifikan antara sodium dan risiko stroke dan penyakit kardiovaskular. Wah, seram ya, Bun.
Contoh makanan sumber garam yaitu seperti bumbu dan olahan 53 persen, daging dan olahan 3,35 persen, lain-lain 6,35 persen, hewani dan olahan 9,15 persen, serta serealia dan olahan 28,15 persen.
Peningkatan IMT pada anak dipengaruhi oleh konsumsi minuman manis dan
lemak tinggi. Suatu penelitian menunjukkan adanya hubungan antara asupan energi dan protein dengan obesitas pada anak, kemungkinan disumbang oleh konsumsi cepat saji (makanan modern) yang tinggi energi, tinggi lemak, tinggi garam, dan rendah serat.
"Pola makan dengan lemak tinggi dan rendah serat secara longitudinal berhubungan dengan peningkatan adipositas," sambung Prof Dodik.
Makanan dengan kandung lemak misalnya daging dan olahan (39,7 gram), minyak dan olahan (35 - 37 gram), makanan komposit (30 - 35 gram), serealia dan olahan (28 - 29 gram), kacang-kacangan dan olahan (12 - 14 gram), jeroan dan olahan (11 - 14 gram), telur dan olahan (10 - 11 gram).
Dengan tahu kandungan lemaknya, kita bisa perhatikan nih seberapa banyak sih saat kita mau kasih anak makanan yang tinggi lemak. Pokoknya yang harus kita ingat, Bun, segala hal yang berlebihan itu nggak baik. Kandungan makanan yang baik pun begitu, kalau berlebihan dimakan jadinya juga malah nggak baik.
Geriatri.id - Kesehatan lansia sering kali menjadi perhatian utama seiring dengan bertambahnya usia, karena perubahan metabolisme, fungsi organ, dan daya tahan tubuh.
Salah satu pertanyaan penting yang sering muncul adalah, mana yang lebih berbahaya bagi kesehatan lansia: makanan tinggi gula atau makanan tinggi garam?
Keduanya dapat membawa dampak buruk, namun efeknya berbeda pada tubuh, terutama bagi mereka yang sudah memiliki kondisi medis tertentu seperti hipertensi, diabetes, atau penyakit jantung.
Bahaya Makanan Tinggi Gula
Konsumsi gula berlebih telah lama dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan, terutama diabetes.
Baca juga: 8 'Super Food' yang Ampuh Turunkan Kadar Gula Darah Bagi Lansia
The American Diabetes Association menyebutkan bahwa asupan gula yang berlebihan dapat menyebabkan peningkatan kadar gula darah yang cepat, yang berisiko memicu diabetes tipe 2, kondisi yang umum terjadi pada lansia.
Diabetes tidak hanya mempengaruhi metabolisme, tetapi juga dapat menyebabkan komplikasi serius seperti kerusakan saraf, gangguan penglihatan, hingga gagal ginjal.
Studi yang diterbitkan oleh Harvard Medical School menyebutkan bahwa konsumsi makanan tinggi gula, terutama dalam bentuk minuman manis dan makanan olahan, juga dapat memicu obesitas, meningkatkan risiko penyakit jantung, dan memperburuk peradangan kronis.
Pada lansia, efek ini lebih cepat terasa karena metabolisme tubuh melambat, sehingga gula berlebih sulit diproses dengan efisien.
Selain itu, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) juga mengungkapkan bahwa gula dapat merusak kesehatan gigi, yang pada lansia bisa menyebabkan infeksi dan masalah pencernaan.
Lansia yang sudah memiliki diabetes harus lebih berhati-hati dalam mengatur asupan gula mereka.
Tetap terhubung dengan kami untuk Update info terbaru agenda-agenda PTM Kementerian Kesehatan Indonesia.
Gula, garam dan lemak yang dikonsumsi berlebihan akan berdampak buruk bagi Kesehatan. Batasan konsumsi gula sebesar 50 gram atau 4 sdm/hari, garam 2000mg natrium atau 1 sdt garam/hari dan lemak 67 gram atau 5 sdm minyak/hari.
Kondisi di Indonesia saat ini, terjadi peningkatan prevalensi penyakit degenerative (Diabetes melitus, hipertensi, jantung, dll) bahkan dikalangan anak-anak dan remaja. Data menunjukkan bahwa jumlah kasus penderita penyakit jantung usia 15-24 tahun lebih tinggi dibandingkan usia dewasa dan lansia.
Begitu pula pada angka penderita diabetes melitus, pada tahun 2023 terjadi peningkatan signifikan dari tahun 2018. Selain itu, angka overweight dan obesitas pada anak dan remaja juga mengalami peningkatan.
Gula, garam dan lemak memiliki sifat yang bisa membuat orang yang mengonsumsinya merasa ketagihan. Kondisi ini jika tidak segera mendapat perhatian akan berdampak pada kualitas generasi penerus bangsa. Pembiasaan mengonsumsi real food pada anak-anak sejak usia balita adalah salah satu solusi mengurangi kebiasaan konsumsi makanan instan/ kemasan.
Selain itu, membiasakan anak-anak untuk tidak jajan diluar dan menyediakan makanan yang diolah di rumah juga bisa mengurangi kebiasaan konsumsi makanan tinggi GGL. Dengan mengolah makanan sendiri di rumah, kita akan bisa mengatur jenis bahan makanan yang digunakan, serta penambahan gula dan garam pada makanan tersebut. *
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Bagaimana cara meningkatkannya?
PEMERINTAH membuka ruang pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu, termasuk pangan olahan siap saji, yang mengandung gula, garam, dan lemak (GGL). Ruang pengenaan cukai tersebut tercantum dalam Pasal 194 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang 17/2023 tentang Kesehatan (PP 28/2024).
Pengenaan cukai atas pangan olahan tertentu menjadi krusial mengingat kasus penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes, hipertensi, dan obesitas, terus merangkak naik. Di sisi lain, peningkatan kasus PTM menambah beban perlindungan kesehatan dan sosial serta menurunkan produktivitas perekonomian (Sukmana, 2022).
Makanan tinggi GGL digadang menjadi salah satu penyebab PTM. Merespons masalah tersebut, pengenaan cukai bisa menjadi upaya alternatif untuk menurunkan prevalensi PTM akibat konsumsi makanan tinggi GGL (European Regional World Health Organization, 2015). Untuk itu, pengenaan cukai atas makanan tinggi GGL juga patut dipertimbangkan.
Setidaknya ada 4 justifikasi makanan tinggi GGL bisa dikenakan cukai. Pertama, ekternalitas negatif dari konsumsi makanan tinggi GGL. Konsumsi makanan tinggi GGL merupakan salah satu penyebab utama PTM (Rayner dan Scarborough, 2005).
Misalnya, hipertensi yang berisiko menimbulkan penyakit kardiovaskular disebabkan tingginya asupan garam (Strazzullo et al., 2009). Kemudian, asupan gula berlebih menjadi penyebab utama obesitas yang meningkatkan risiko diabetes dan banyak jenis kanker (Lauby-Secretan et al., 2016). Di sisi lain, biaya kesehatan yang ditimbulkan PTM juga tinggi.
Kedua, kesesuaian karakteristik makanan tinggi GGL dengan sifat atau karakteristik barang tertentu yang dikenakan cukai. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Cukai telah menetapkan 4 sifat atau karakteristik barang tertentu yang dikenai cukai.
Keempat karakteristik tersebut, yaitu: (i) konsumsinya perlu dikendalikan; (ii) peredarannya perlu diawasi; (iii) pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau (iv) pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Melihat karakteristik tersebut, konsumsi makanan tinggi GGL perlu dikendalikan karena dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Oleh karenanya, alasan tersebut bisa menjadi justifikasi pengenaan cukai atas makanan tinggi GGL.
Alasan tersebut juga selaras dengan teori yang dipaparkan Cnossen (2005). Cnossen menuturkan salah satu ciri khas cukai adalah diskriminatif dalam tujuan pengenaannya. Dalam konteks ini, cukai bisa diterapkan sebagai instrumen ekonomi untuk mengendalikan konsumsi makanan tinggi GGL.
Ketiga, efektivitas cukai dalam mengubah perilaku konsumsi. Pengenaan cukai dapat meningkatkan harga makanan yang berpotensi menggeser pilihan produk yang akan dikonsumsi. Beberapa studi empiris menunjukkan bahwa perpajakan dapat mengurangi konsumsi makanan yang tidak sehat sehingga berdampak luas pada kesehatan masyarakat (Seah et al., 2018)
Misalnya, Ludbrook (2019) menyatakan pajak, kampanye pangan, dan intervensi subsidi dapat mendorong konsumsi makanan sehat di seluruh dunia. Selain itu, Smed et al. (2016) menaksir dampak pajak lemak jenuh (saturated fat tax) di Denmark menurunkan 4% pembelian makan dengan kandungan lemak jenuh.
Keempat, potensi penerimaan cukai baru. Meski bukan tujuan utama, pengenaan cukai atas makanan tinggi GGL bisa menjadi sumber penerimaan cukai baru. Adanya ‘lumbung’ penerimaan baru dapat menyeimbangkan struktur penerimaan cukai Indonesia yang selama ini didominasi dari industri hasil tembakau.
Penerimaan cukai dari makananan tinggi GGL juga dapat menjadi sumber pendanaan perawatan kesehatan atas penyakit yang disebabkan GGL. Tidak hanya itu, penerimaan tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan sistem kesehatan nasional, mendorong pola makan yang lebih sehat, serta sosialisasi dan kampanye kesehatan. Hal ini dimungkinkan melalui skema earmarking.