Popular Releases by Waljinah
Jangkrik Genggong - Endah Laras
Budhe saya -kakak perempuan ibu- termasuk orang yang menggemari lagu - lagu campursari. Beliau memiliki beberapa CD bernuansa campursari. Entah sejak kapan, saya tidak menyadari, ternyata budhe saya pernah memberikan sebuah CD campursari berisi lagu - lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi Endah Laras.
Secara tidak sengaja, saya menemukan kaset campursari Endah Laras itu saat beres - beres lemari. Ketika itu, saya sudah mulai menyukai jenis musik ini. Tentu saja, saya sangat senang ketika menemukan kaset ini dan buru - buru saya putar untuk mendengarkan lagu - lagu di dalamnya.
Salah satu lagu yang agak familiar di telinga saya adalah lagu "Jangkrik Genggong". Entah pernah denger dimana, tapi lagu ini nampak tidak asing bagi saya. Saya pun jadi sering memutar lagu ini. Saya jadi tambah kesengsem dengan lagu ini setelah melihat video klipnya. Setting sebuah sungai -entah sungai apa- ditambah laju kendaraan melintas di jembatan membuat saya berpikir "hmm..adem bener, polos bener video klipnya! hehehe..".
..Kendhal kaline wungu, ajar kenal karo aku
Lelene mati digepuk, nggepuk nganggo walesane
Suwe ora pethuk, ati sido remuk
Kepethuk mung suarane
E ya e..ya e... E ya e.. ya e, ya e, ya e..
Jangkrik genggong, jangkrik genggong
Luwih becik omong kosong
Semarang kaline banjir, jo sumelang ra dipikir
Jangkrik upo sobo ning pogoh, melumpat ning tengahing jogan
Wis watake priyo, jare ngaku setyo
Tekan ndalan selewengan
E ya e..ya e... E ya e.. ya e, ya e, ya e..
Jangkrik genggong, jangkrik genggong
Wani nglirik sepi nguwong
Yen ngetan bali ngulon, tiwas ngedan ra kelakon
Yen ngrujak ngrujako nanas, ojo ditambahi kweni
Kene tiwas nggagas, awak adem panas
Jebul ono sing nduweni
E ya e..ya e... E ya e.. ya e, ya e, ya e..
Jangkrik genggong, jangkrik genggong
Sampun cekap mongso borong..
Saya juga tidak terlalu paham maksud dari lagu ini. Saya pernah menanyakan pada ibu saya "apa sih maksudnya jangkrik genggong?". Ibu saya hanya bilang, ini merupakan suatu ungkapan kekesalan yang biasa diucapkan oleh seseorang.
Saya menangkap bahwa lagu ini ingin menceritakan tentang kekecewaan seseorang yang menyukai orang lain, namun ternyata apa yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Pertama, dia tidak dapat sering bertemu dengan 'sang pujaan hati', mungkin karena jarak jauh yang memisahkan atau juga karena kesibukan.
Alasan kedua mengapa ia kecewa adalah karena ternyata 'sang pujaan hati' melakukan penyelewengan! Hehe.. tentu saja langsung terpikirkan bahwa mungkin saja 'sang pujaan hati' memiliki pujaan hati lain, atau bahkan ternyata 'sang pujaan hati' memang tidak mencintainya *jiaahhhhh >.< *sabar ya buuuu
Kekecewaan ketiga adalah ketika ia sudah banyak berkorban, baik korban waktu, biaya, tenaga, maupun korban perasaan *hehe.. ternyata 'sang pujaan hati' yang selalu menjadi idaman sudah memiliki pasangan lain. Huuuuhhh kesal bercampur sedih tentunya! Oleh karena itu, dia selalu menyebut kata "Jangkrik Genggong" untuk mengungkapkan kekesalannya.
Ya udah, sabar aja..mungkin bukan jodoh. Silakan teruskan hidup dan cari yang lain lagi ^^
Lewat lagu ini pula, saya mengenal sosok penyanyi campursari Endah Laras. Saya sangat mengagumi suara mbak Endah yang sungguh halus dan lembut ini :) Andai saja, suara saya seindah itu.. hehe.. Ada beberapa lagu Endah Laras yang juga saya gemari dan insya Allah akan saya post di kesempatan berikutnya :)
Bravo musik campursari! ^^
ČeštinaDeutschEλληνικάEnglish (US)English (UK)Español (ES)Español (MX)Françaisहिन्दीBahasa IndonesiaItaliano日本語한국어NederlandsPolskiPortuguêsPortuguês (BR)РусскийTürkçe中文繁體中文
Upacara adat Jangkrik Genggong merupakan salah satu upacara ritual yang sampai saat ini masih diselenggarakan oleh masyarakat pendukungnya yaitu di Desa Sidomulyo, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur. Upacara adat ini dipercaya dapat menciptakan keselarasan dan keharmonisan sehingga dapat memberikan rasa aman, tenteram, damai, dan sejahtera dalam kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut membuat upacara adat ini terus dilestarikan. Upacara adat Jangkrik Genggong yaitu berupa upacara sedekah laut yang ditujukan kepada penguasa laut selatan. Upacara adat ini dilaksanakan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Dusun Tawang Wetan Desa Sidomulyo setiap satu tahun sekali menurut kalender jawa.[1]
Tujuan dari upacara adat Jangkrik Genggong ini adalah untuk mengungkapkan rasa syukur atas segala nikmat yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Esa berupa kesuksesan dalam hidup. Misalnya, hasil perikanan dan pertanian yang melimpah, keselamatan, kesehatan dan kedamaian. Upacara adat ini juga merupakan bentuk permintaan keamanan, kemakmuran dalam hidup, dan penghasilan yang lebih baik di masa depan, selain itu juga dimaksudkan untuk memperingati jasa Ki Raga Bahu, Gadhung Mlathi, Gambir Sari, Tumenggung Mangkunegara, dan Wanacaki. Banyak masyarakat Dusun Tawang yang ada di Desa Sidomulyo mencari nafkah sebagai nelayan di Laut Selatan, sehingga upacara adat ini juga sebagai wujud rasa terima kasih dari seluruh nelayan Dusun Tawang.[2]
Upacara adat Jangkrik Genggong dilatarbelakangi oleh cerita yang dituturkan secara turun-temurun. Pada zaman dahulu Keraton Mataram berada dibawah kekuasaan Panembahan Senapati, Panembahan Senapati menikahi Kanjeng Ratu Kidul untuk menambah kekuatan dan kesaktiannya. Dari perkawinannya Kanjeng Ratu Kidul dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Raga Bahu. Setelah Bahu dewasa kemudian ia menemui Panembahan Senapati di Keraton Mataram tetapi tidak diakuinya sebagai anak. Kemudian Raga Bahu pergi mengembara sambil bersumpah bahwa ia selamanya tidak akan ke Keraton Mataram dan juga tidak mau tinggal bersama ibunya di laut selatan. Pengembaraan Raga Bahu sampai berbulan-bulan berjalan ke arah timur menyusun tepian laut selatan, sampailah di Nggoro Lemah, segara anakan Ngglandhang (yang sekarang bernama Pantai Tawang) yang pada saat itu masih merupakan hutan belantara. Raga Bahu merasa nyaman di daerah ini dan berjanji untuk selamanya tinggal di tempat tersebut.[3]
Pada suatu waktu ada kedatangan 4 orang dari Watu Ireng Imogiri wilayah Keraton Mataram, keempat orang tersebut adalah: Gadhung Mlathi, Gambir Sari/Anom, Tumenggung Mangkunegara, dan Wanacaki. Mereka kemudian melakukan babad alas dan tinggal bersama di Nggoro Lemah, laut anakan Ngglandhang bersama Raga Bahu yang sudah lebih dahulu tinggal di wilayah tersebut, sampai Ki Raga Bahu dan keempat orang tersebut meninggal dunia. Setelah beberapa waktu, datang 2 (dua) orang yang bertekad ingin membuka wilayah tersebut, yaitu Kyai Karmo Niti dan Kyai Wakid. Masing-masing membuka lahan yang berbeda, Kyai Karmo Niti menetap di daerah yang sekarang bernama Dusun Tawang dan Kyai Wakid pindah ke daerah yang lebih ke timur yang sekarang menjadi Desa Hadiwarno. Kyai Karmo Niti dalam membuka wilayah tersebut dibantu oleh Kyai Nggoro Kerti, Kyai Ponco Sari dan Kyai Tikarmo. Untuk memenuhi kebutuhan air Kyai Tikarmo yang (sesepuh dusun) menggali untuk membuat sumur di Tawang Wetan yang kemudian oleh warga diberi nama Sumur Gedhe, dengan sumur itu kebutuhan air bisa tercukupi tanpa harus mencari sumber air di tempat lain. Lama-kelamaan penduduk semakin bertambah dan mengakibatkan suatu permasalahan, karena untuk memperoleh air mereka harus bergantian. Hal ini membuat Ki Demang Tawijo bersama warga berpikir untuk membuat sumur kedua. Warga masyarakat dengan penuh semangat bergotong royong membuat sumur baru di Dusun Tawang yang kemudian diberi nama Sumur Pinggir. Sementara itu untuk memenuhi kebutuhan air dalam bercocok tanam warga memanfaatkan sumber air di lereng bukit sebelah utara dusun yang disebut dengan Sumur Wungu. Nama Sumur Wungu diberikan karena di tempat tersebut terdapat pohon wungu yang sangat besar. Semakin banyak warga yang tinggal di wilayah tersebu, maka semakin bertambah pula kebutuhan akan air, sumber mata air di dusun tersebut terus bertambah dan akhirnya berjumlah 5 sumur.[4] Segala kegiatan warga yang memerlukan air diambilkan dari sumber air tersebut. Kelima sumber mata air tersebut menurut kepercayaan masyarakat setempat dikuasai oleh makhluk halus yang menjadi penguasa sumber mata air, yang oleh masyarakat di wilayah tersebut disebut dengan dhanyang atau yang mbaureksa. Dhanyang dipercaya sebagai roh leluhur yang sudah meninggal atau pendiri desa tempat mereka tinggal, orang pertama yang babad desa atau cikal-bakal, atau makhluk halus yang dipercaya melindungi atau menjaga wilayahnya tersebut. Para dhanyang yang dipercaya oleh warga masyarakat bersemayan di Desa Sidomulyo diantaranya yaitu Ki Raga Bahu, Gadhung Mlathi, Gambir Sari, Tumenggung Mangkunegara, dan Wanacaki.[5]
Para dhanyang tersebut dipercaya yang babad atau membuka hutan untuk dijadikan tempat tinggal, yang kemudian menjadi pedusunan dan selanjutnya menjadi pedesaan. Sebagai ungkapan terima kasih warga masyarakat di wilayah tersebut kepada para leluhur atau yang mbaureksa juga disebut dhanyang desa karena telah menjaga keselamatannya, segenap warga masyarakat setiap tahun sekali mengadakan selamatan caos dhahar. Caos dhahar tersebut sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada para nenek moyangnya dan juga sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta yang kemudian diwujudkan dalam bentuk upacara adat bersih desa.[6] Upacara adat bersih desa selalu diadakan dan disertai dengan pergelaran Tayuban. Pergelaran Tayub ini menjadi puncak dari upacara adat bersih desa tersebut.[7] Dalam pergelaran Tayub tersebut diiringi dengan gendhing-gendhing yang salah satunya gendhing Jangkrik Genggong. Gendhing Jangkrik Genggong ini dipakai untuk mengiringi ketika Ki Bayan Wanacaki yang menari bergerak dengan sangat lincahnya, seperti orang sedang mengusir roh-roh jahat di wilayah tersebut.
Upacara adat Jangkrik Genggong berlangsung setahun sekali menurut penanggalan Jawa pada hari Selasa Kliwon di bulan Longkang atau Sela yang juga dikenal dengan Dulkaidah. Sebagai warisan pendahulunya, hari pelaksanaan upacara adat ini yaitu hari Selasa kliwon di bulan Dulkaidah. Di masa lalu, nenek moyang melakukan upacara adat pada hari itu. Selain itu, pada bulan Jawa, Dulkaidah atau Longkang disebut juga bulan Sela. Pasalnya, selama bulan ini masyarakat Jawa sudah senggang atau sela dari aktivitasnya karena sudah selesai panen. Sebagai rasa syukur atas keberhasilan mereka, upacara adat ini diselenggarakan. Selanjutnya, Selasa Kliwon dipilih sebagai hari upacara karena merupakan hari suci bagi masyarakat Jawa dan dianggap sangat cocok untuk berdoa dan melakukan upacara adat. Jika tidak ada Selasa Kiwon di bulan Sela atau Longkang, maka pertunjukan ritual adat tersebut dilaksanakan di bulan sebelumnya, Selasa Kliwon di bulan Syawal.[8]
Rangkaian penyelenggaraan upacara adat Jangkrik Genggong dilaksanakan di beberapa tempat yaitu :[9]
Estimated reading time: 1 min
Lagu Jangkrik Genggong adalah lagu dari daerah Jawa Tengah yang berirama keroncong ditulis oleh Andjar Any (nama lahir : Andjar Mudjiono) asal Surakarta, pencipta lagu sekaligus sastrawan dan lagu ini dipopulerkan oleh Waldjinah. Lagu ini menceritakan tentang seseorang yang dikhianati oleh seorang kekasih dan banyak pengorbanan yang sudah dilakukan baik waktu, tenaga, materi dan lain-lain.
Lirik Lagu Jangkrik Genggong
Kendal kaline wunguAjar kenal karo akuLelene mati digepukGepuk nganggo walesane
Suwe ora pethuk, ati sida remukKepethuk mung suwaraneEe ya e ya eEe ya e ya e ya e ya eJangkrik genggong, jangkrik genggongLuwih becik omong kosong
Semarang kaline banjirJa sumelang ra dipikirJangkrik upas aba ning tanggaMalumpat ning tengah jogan
Wis watake Priya, jare ngaku setyaTekan ndalan selewenganEe ya e ya eEe ya e ya e ya e ya eJangkrik genggong, jangkrik genggongWani nglirik sepi uwong
Nyen ngetan bali ngulonTiwas edan ra kelakonYen ngrujak ngrujako nanasOjo ditambahi kweni
Kene tiwas nggagas, awak adempanasJebul ono sing nduweniEe ya e ya eEe ya e ya e ya e ya eJangkrik genggong, jangkrik genggongSampun cakep moso borong
Thêm bài hát vào playlist thành công
Writer: Anjar Anny / Composers: Anjar Anny
( 3 Votes)
Please select the number of stars you wish to vote on the left.